Terima kasih atas kunjungan Anda, kami menyajikan berbagai informasi terkini tentang CSR...

25 Februari 2009

Indocement Raih CSR Award

. 25 Februari 2009
2 komentar

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), salah satu perusahaan industri semen terbesar di Indonesia, meraih dua penghargaan sekaligus atas perannya dalam tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).

Kepala Departemen Humas dan Komunikasi PT Indocement Tunggal Prakarsa Aldo Yuliardy di Citeureup, Rabu (25/2), mengatakan dua penghargaan itu adalah 'Penghargaan Emas' dan 'Penghargaan Terbaik 1' untuk Sektor Industri dan Manufaktur pada Bidang Sosial dan Lingkungan.

Indonesian CSR Awards 2008 digelar Departemen Sosial (Depsos) dan Corporate Forum of Community Development (CFCD) dengan pelaksana Latofi Enterprise.

Ia menjelaskan, Direktur Sumberdaya Manusia (SDM) PT Indocement Kuky Permana berhasil meraih Penghargaan Terbaik 1 untuk kategori pimpinan perusahaan tipe perorangan.

"Keberhasilan tersebut merupakan komitmen dan keberhasilannya dalam upaya memajukan Corporate Social Responsibility (CSR), khususnya di Indocement," katanya.

'Penghargaan Emas, kata Aldo, diberikan kepada perusahaan itu pada program yang dinilai berhasil meraih nilai tertinggi, yakni Program Pengolahan Sampah Menjadi Energi.

Perusahaan itu, setelah melakukan program CSR dengan penanaman lahan bekas tambang dengan tanaman jarak pagar (Jathropa curcas) dan pemanfaatan sampah rumah tangga untuk dijadikan kompos dan biomassa, pada hari ulang tahun (HUT) ke-33 awal Agustus perusahaan mengembangkan proyek percontohan konversi energi.

Peluncuran proyek percontohan berupa pemanfaatan kotoran sapi yang diubah menjadi biogas itu, dilaksanakan di Kampung Cigedong, Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, bertepatan dengan HUT perusahaan itu.

Direktur SDM Indocement Kuky Permana secara simbolis menyerahkan satu set peralatan yakni reaktor biogas, bak out-put serta kompor biogas kepada Ali Irawan (38), warga setempat, yang mewakili empat rumah tangga yang sebulan terakhir telah memanfaatkan biogas itu.

Demonstrasi pemanfaatan biogas sejak dari kandang sapi hingga bisa digunakan untuk memasak itu juga disiarkan melalui video conference, sehingga Direktur Utama (Dirut) Indocement Daniel Lavalle dan karyawan yang berada di pabrik Citeureup bisa melihat dan berinteraksi langsung dengan Kuky Permana dan warga yang berada di Desa Lulut.

Menurut Kuky Permana, program terbaru -- meski masih proyek percontohan -- berupa konversi energi dari kotoran ternak itu tidak lain adalah untuk pemberdayaan masyarakat, yang semuanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga di sekitar pabrik, baik yang ada di Citeureup, Palimanan, Cirebon, dan Tarjun, Kota Baru, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Ia mengatakan umumnya program community development selalu berbentuk membangun sarana jalan, tempat ibadah -- yang selama ini juga masih dilakukan perusahaan itu -- namun bentuk seperti itu umumnya tidak berkesinambungan, dan suatu saat bisa berhenti.

"Kami tidak ingin membuat masyarakat tergantung, dengan hanya meminta, sehingga perlu program pemberdayaan yang berkesinambungan," katanya.

Saat dikenalkan program kebun jarak -- yakni menanam pohon jarak di lahan bekas tambang dan juga di kebun masyarakat yang selama ini ditelantarkan -- ternyata bersinergi dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pemeliharaan jarak yang benar dan baik adalah menggunakan pupuk kandang.

"Akhirnya kami berpikir bagaimana mendapatkan pupuk kandang lebih baik, ternyata kami lihat banyak warga sekitar yang memiliki ternak yang berkeliaran, padahal kami ketahui kotoran ternak itu mempunyai potensi untuk menjadi energi," katanya.

Apalagi masalah umum saat ini adalah soal minyak tanah yang harganya naik, sehingga pihaknya terus mencari upaya dan kreativitas untuk ikut membantu menangani soal energi itu melalui jalur pemanfaatan kotoran ternak yang bisa dikonversi menjadi biogas.

Proyek percontohan di Desa Lulut itu, kata dia, telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa peternakan kalau dikelola dengan baik dan benar, bisa menghasilkan energi ramah lingkungan dan membantu masyarakat mengatasi krisis minyak tanah.

"Saya kira ini salah satu terobosan, dan proyek percontohan biogas ini akan kami jadikan pola dan dilanjutkan ke tempat atau desa-desa lain," katanya.

www.inilah.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

23 Februari 2009

Telkom Raih Penghargaan Platinum

. 23 Februari 2009
0 komentar

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) meraih 6 kategori penghargaan terkait capaian kinerja. Salah satunya adalah penghargaan platinum, yaitu penghargaan dengan nilai terbaik di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Penganugerahan Indonesia Corporate Social Responsibility (CSR) 2008 yang diserahkan langsung oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah diterima Direktur Human Capital & General Affair Telkom Faisal Syam, di Jakarta, Senin (23/2).

Selain meraih penghargaan platinum, Telkom melalui Divisi Regional I Sumatera juga meraih penghargaan emas di bidang sosial, penghargaan perak di bidang ekonomi sosial dan lingkungan serta juara pertama di bidang sosial maupun juara pertama di bidang sosial ekonomi dan lingkungan. Sedangkan juara kedua untuk bidang ekonomi sosial dan lingkungan diraih Telkom Divisi Regional V Jawa Timur. Praktis, melalui Divisi Regional I & V, Telkom meraih enam penghargaan (terbanyak).
Ketua CFCD (Corporate Forum for Community Development) Thendri Supriatno mengatakan, Telkom merupakan salah satu perusahaan yang memiliki nilai baik di bidang corporate social responsibility (CSR). "Hal ini tentu layak ditiru oleh perusahaan lain," ujarnya.
Penghargaan ini, lanjut dia, menunjukkan bahwa Telkom memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi terhadap kesejahteraan bangsa serta diharapkan dapat mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Menurut dia, CSR merupakan salah satu cara yang baik untuk dilakukan guna memenuhi salah satu tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang 1945. Salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Sementara itu, Vice President Public & Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia menanggapi positif penghargaan yang diraih Telkom dalam ajang bergengsi tersebut.
"Sekalipun kami tidak menjadikan perolehan award sebagai tujuan dari kegiatan CSR Telkom, namun apresiasi semacam itu akan sangat memotivasi kami untuk lebih giat lagi dalam menjalankan praktik CSR," tuturnya.
Prestasi Telkom Sumatera di bidang CSR, seperti diakui Kepala Divisi Regional I Sumatera Muhammad Awaluddin, tak lepas dari obsesinya untuk memajukan wilayah tersebut melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).
Setidaknya ada dua program CSR yang aktif dijalankan oleh Telkom Sumatera, yaitu education for tommorrow (E4T) untuk mewujudkan obsesi Sumatera Pulau Digital dan Pembangunan Kampung Digital. Awaluddin tidak memungkiri bahwa upaya ini juga berdampak pada terbentuknya citra layanan data dan internet Telkom yang semakin kuat. Sejak 2007 hingga 2008, program E4T telah mendidik sedikitnya 238.000 siswa. Melalui program ini, kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan ICT ditingkatkan. (A Choir)
www.suarakarya-online.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

Enam Perusahaan Tambang Raih CSR Award 2008

.
0 komentar

Sebanyak Enam perusahaan pertambangan batubara mendapatkan penghargaan CSR Awards dari berbagai kategori yang diadakan oleh Departemen Sosial bekerjasama dengan Corporate Forum for Community Development (CFCD).

Enam perusahaan tersebut yaitu: PT. Adaro Indonesia, PT. Berau Coal, PT. Bukit Asam, PT. Arutmin Indonesia, PT. Indominco Mandiri dan PT. Kaltim Prima Coal.

Penyerahan CSR Awards 2008 dilakukan oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah di Hotel Ritz Carlton Pasific Place, SCBD, Jakarta, Senin, 23 Februari 2009.

Enam perusahaan tambang batubara peraih CSR Award 2008 tersebut meliputi kategori Sosial, Ekonomi, Lingkungan, Sosial Ekonomi, Ekonomi Lingkungan, Sosial Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan.
Dalam sambutannya Mensos mengatakan bahwa program CSR adalah bagian dari kinerja perusahaan dalam mensejahterakan masyarakat sekitar.

"Saya yakin kinerja sosial yang ada di masing-masing perusahaan saat ini bukan hanya karena peraturan pemerintah, tetapi karena sudah menjadikan etika sosial sebagai bagian dari kinerja perusahaan," katanya.

Ia berharap, kegiatan CSR ke depan lebih fokus pada usaha-usaha kesejahteraan sosial dalam kaitan penyelesaian masalah sosial terutama di lingkungan perusahaan.

Sementara itu, Ketua CFCD Thendri Supriatno mengatakan penghargaan CSR Awards ke kalangan perusahaan merupakan wujud apresiasi masyarakat terhadap mereka yang menjalankan tanggungjawab sosialnya. "Di masa yang akan datang diharapkan korporat makin berperan besar dalam keterlibatan pembangunan masyarakat," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Menteri Sosial juga mencanangkan secara nasional, gerakan Corporate Social Responsibility (CSR), sebagai wujud komitmen perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan.

www.majalahtambang.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

Enam Perusahaan Tambang Raih CSR Award 2008

.
0 komentar

Sebanyak Enam perusahaan pertambangan batubara mendapatkan penghargaan CSR Awards dari berbagai kategori yang diadakan oleh Departemen Sosial bekerjasama dengan Corporate Forum for Community Development (CFCD).

Enam perusahaan tersebut yaitu: PT. Adaro Indonesia, PT. Berau Coal, PT. Bukit Asam, PT. Arutmin Indonesia, PT. Indominco Mandiri dan PT. Kaltim Prima Coal.

Penyerahan CSR Awards 2008 dilakukan oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah di Hotel Ritz Carlton Pasific Place, SCBD, Jakarta, Senin, 23 Februari 2009.

Enam perusahaan tambang batubara peraih CSR Award 2008 tersebut meliputi kategori Sosial, Ekonomi, Lingkungan, Sosial Ekonomi, Ekonomi Lingkungan, Sosial Lingkungan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan.
Dalam sambutannya Mensos mengatakan bahwa program CSR adalah bagian dari kinerja perusahaan dalam mensejahterakan masyarakat sekitar.

"Saya yakin kinerja sosial yang ada di masing-masing perusahaan saat ini bukan hanya karena peraturan pemerintah, tetapi karena sudah menjadikan etika sosial sebagai bagian dari kinerja perusahaan," katanya.

Ia berharap, kegiatan CSR ke depan lebih fokus pada usaha-usaha kesejahteraan sosial dalam kaitan penyelesaian masalah sosial terutama di lingkungan perusahaan.

Sementara itu, Ketua CFCD Thendri Supriatno mengatakan penghargaan CSR Awards ke kalangan perusahaan merupakan wujud apresiasi masyarakat terhadap mereka yang menjalankan tanggungjawab sosialnya. "Di masa yang akan datang diharapkan korporat makin berperan besar dalam keterlibatan pembangunan masyarakat," katanya.
Dalam kesempatan yang sama Menteri Sosial juga mencanangkan secara nasional, gerakan Corporate Social Responsibility (CSR), sebagai wujud komitmen perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan.

www.majalahtambang.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

22 Februari 2009

Bank Jabar dan Unpad Lestarikan Budaya Sunda

. 22 Februari 2009
0 komentar

Bank Jabar Banten akan menganggarkan Corporate Sosial Responsibilty (CSR) untuk membantu Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dalam melestarikan budaya daerah.

Direktur Utama Bank Jabar Banten Agus Ruswendi, Minggu (22/2), mengatakan sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Jabar, Unpad selalu mengedepankan budaya daerah melalui berbagai kegiatan di lingkungan dan di luar kampus.

"Atas kepeduliannya itu, Bank Jabar Banten menganggarkan dana CSR sebesar 5% dari laba perusahaan. Soal besarannya kami belum bisa menyebutkannya sekarang. Namun, kami diharapkan, dana CSR tersebut bisa digunakan untuk melestarikan budaya Sunda," ujar Agus.

Sementara Rektor Unpad Ganjar Kurnia, mengakatan untuk melestarikan budaya Sunda, perlu adanya kerja sama dengan lembaga, dinas dan instansi terkait. "Untuk itu, kami mengajak Bank Jabar dan Banten untuk bersama-sama melestarikan budaya daerah," tuturnya seraya menambahkan Bank Jabar Banten merupakan perusahaan pertama yang fokus terhadap budaya daerahnya. (EM/OL-02)

mediaindonesia.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

21 Februari 2009

Berharap pada PKBL BUMN

. 21 Februari 2009
1 komentar

Indonesia masih  didera sejumlah problem sosial yang pelik, seperti kemiskinan, pengangguran, angka putus sekolah yang tinggi dan sebagainya. Persoalan tersebut tentu butuh penyelesaian. Mengharapkan seluruhnya kepada pemerintah adalah tidak mungkin. Sebab kemampuan yang dimiliki pemerintah sangat terbatas.

Karenanya peran dunia usaha sangat dibutuhkan untuk membantu mengatasi berbagai persoalan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah  sektor bisnis yang dimiliki pemerintah yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Lewat program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), dunia usaha termasuk BUMN, bisa berbuat banyak untuk membantu dan memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Muaranya, pasti demi meningkatkan taraf hidup rakyat.

Sekarang, kegiatan CSR di perusahaan BUMN terkenal dengan istilah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Meskipun namanya berbeda, namun intinya sama yaitu bentuk tanggung jawab  BUMN untuk berbuat sesuatu bagi lingkungan di sekitarnya.BUMN, kata mantan Staf Ahli Menteri BUMN Bidang Kemitraan Usaha  Kecil,  Parikesit  Suprapto,  pada dasarnya mempunyai dua  tanggung jawab yaitu kepada pemegang saham dan masyarakat. Tanggung jawab kepada pemegang saham dititiberatkan  pada kinerja keuangan dan pertambahan nilai perusahaan yang tergambar pada  laporan keuangan. Sedangkan tanggung jawab kepada masyarakat (CSR) merupakan bentuk kontribusi perusahaan pada pembangunan nasional sekaligus peningkatan kualitas hidup komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan.

Terkait dengan tanggung jawab kepada masyarakat, maka BUMN melaksanakan program yang disebut Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).  Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan  kemampuan usaha kecil agar menjadi  tangguh dan mandiri  melalui pemanfaatan dana  dari bagian laba BUMN. Sedangkan program Bina Lingkungan  aalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat  melalui pemanfaatan dana dari bagian laba.

''PKBL dilaksanakan dengan mengacu pada empat filosofi dasar. Yaitu  kewajiban, tugas sosial,  akuntabel, dan  corporate action,''  kata Parikesit  yang kini menjabat deputi bidang perbankan dan jasa keuangan Kementerian BUMN.Program Kemitraaan, lanjut Parikesit,  sejalan dengan moto pemerintah dalam mengembangkan usaha kecil menengah (UKM). Yaitu  modal dan dana yang cukup,  manajemen yang baik,  sumber daya manusia yang profesional dan terampil,  pasar yang memadai, dan kemitraan yang baik dengan usaha besar serta BUMN.

Program ini ditujukan untuk usaha kecil yaitu yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Atau memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar. Juga untuk usaha  mikro yaitu yang memiliki hasil penjualan individu paling banyak Rp 100 juta. Usaha kecil dan mikro yang menjadi mitra binaan BUMN dapat sebagai usaha perorangan maupun kelompok, baik berbadan hukum maupun tidak, termasuk koperasi.

Dana Program Kemitraan ini disalurkan ke mereka  dalam beberapa bentuk. Seperti pinjaman untuk membiayai modal kerja atau pembelian aktiva tetap, pinjaman khusus untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha,  dan biaya pembinaan yang bersifat hibah (pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran, promosi, dan sebagainya).

''Jika dilihat dari pengelompokan kegiatan ekonomi masyarakat,  penyaluran dana Program Kemitraan ini  sebagian besar diserap oleh sektor perdagangan sebesar 33,4 persen dan industri 20,2 persen.  Yang paling rendah menyerap dana program ini adalah sektor peternakan atau perikanan dan pertanian atau perkebunan,'' papar Parikesit.Sedangkan  Bina Lingkungan digunakan untuk  memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar wilayah  usaha BUMN. Jenis bantuan yang diberikan dalam bentuk bantuan korban bencana alam, pendidikan dan pelatihan masyarakat, kesehatan masyarakat, sarana atau prasarana umum, sarana ibadah masyarakat, dan pelestarian alam.

Bantuan Bina Lingkungan yang diberikan BUMN berdasarkan proposal atau permohonan yang disampaikan masyarakat maupun atas inisiatif atau program BUMN itu sendiri. Terhadap objek bantuan ini, BUMN  wajib melakukan survei untuk memastikan kebenaran, kebutuhan, dan kewajaran permintaan bantuan.''Mengingat dana  yang terbatas, BUMN juga wajib memerhatikan asas pemerataan dan penyalurannya,'' demikian Parikesit.


Berkelanjutan
Marketing Communication Manager Masyarakat Mandiri, Erma Wahayuni,  dalam tulisannya yang dimuat republika beberapa waktu lalu mengatakan,  berdasrakan hasil penelitian PIRAC (2003), dari berbagai jenis peruntukan sumbangan yang diberikan BUMN lewat  PKBL, bidang ekonomi termasuk paling sedikit memperoleh perhatian. Padahal sejumlah program di bidang ini layak untuk diandalkan menopang kehidupan ekonomi rakyat kecil. Misalnya melalui program bantuan modal usaha, pelatihan manajemen dan pemasaran, serta bantuan teknis lainnya.

Perusahaan yang pernah menyumbang untuk bidang ekonomi paling sering menyalurkannya dalam bentuk bantuan modal usaha (59 persen), kegiatan pelatihan manajemen usaha (34 persen), ruang untuk usaha dan pameran (21 persen), bantuan teknologi (13 persen), dan bantuan lain-lain (7 persen).''Bagi perusahaan, PKBL atau  CSR dengan  melaksanakan pemberdayaan ekonomi mikro sudah seharusnya dilandasi untuk menumbuhkan upaya masyarakat miskin menolong diri mereka sendiri melalui suatu proses berkelanjutan dengan prinsip menolong diri sendiri melalui peningkatan kemampuan,'' katanya.

Dengan demikian, lanjut Erma,  memberdayakan masyarakat miskin perlu diupayakan secara berkelanjutan melalui suatu program peningkatan kapasitas yang menyeluruh (holistik), sehingga masyarakat miskin akan mampu mengembangkan dirinya sendiri sekalipun masa program PKBL/ CSR berakhir.

Konsep memberdayakan secara holistik ini tidak cukup dilakukan melalui pendekatan charity (belas kasihan), namun juga harus melalui pendekatan phylantropy bahkan  (perusahaan merasa harus berkewajiban untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yang memadukan aspek ekocorporate citizenshiplogi, ekonomi, dan sosial).

''Begitu pentingnya program PKBL atau  CSR dalam pemberdayaan masyarakat karena bisa menjadi faktor pendorong utama (driving force) untuk pembangunan ekonomi dan komunitas atau  wilayah. Sehingga sudah selayaknya program PKBL/ CSR dijadikan bagian yang terintegrasi dalam perencanaan perusahaan, jangka pendek, menengah dan panjang,'' paparnya. jar

www.republika.co.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

20 Februari 2009

Harga Minyakita akan bervariasi

. 20 Februari 2009
0 komentar

Sejumlah produsen minyak goreng kemasan sederhana milik pemerintah, Minyakita, mulai memasarkan minyak goreng tersebut ke pasar tradisional pada April, dengan harga ditentukan setiap produsen.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan distribusi Minyakita tersebut masih menunggu kesiapan para produsen yang akan menyelesaikan proses produksinya.

"Rata-rata anggota GIMNI yang menggunakan merek tersebut baru akan menyelesaikan produksinya pada Maret. Setelah semua pasokan siap, Minyakita akan dilempar ke pasaran secara bersama-sama paling lambat pada April," kata Sahat di sela-sela peluncuran Minyakita di Serang, kemarin.

Selama ini, pemerintah telah meluncurkan Minyakita di lima wilayah, yakni Jakarta, Pekan Baru, Yogyakarta, Surakarta, dan Serang, dan masih bersifat program corporate social responsibility (CSR).

Terkait dengan kepastian harganya, General Manager PT Musim Mas Group Vimala Putra, salah satu produsen Minyakita mengatakan pihaknya masih menunggu kebijakan dari pemerintah selaku pemilik merek.

Tanpa kesepakatan harga

Namun, dia memastikan tidak akan ada kesepakatan harga tertentu di antara para produsen. Harga Minyakita, sambungnya, akan ditentukan oleh setiap produsen dengan tetap mempertimbangkan biaya produksi yang telah dikeluarkan.

"Kami tidak mungkin menyepakati harganya tapi berdasarkan mekanisme pasar saja. Yang pasti harga yang akan ditetapkan di pasar tradisional itu bakal lebih murah dari harga minyak curah."

PT Musim Mas Group hingga saat ini belum menetapkan harga jual yang bakal dilepas di pasaran. Namun, dengan mempertimbangkan ongkos produksi dan harga minyak yang sedang turun, Vimala menilai harga yang ideal berada di kisaran Rp8.500 hingga Rp9.000 per liter.

Harga tersebut dinilai cukup wajar sebab harga minyak curah di pasaran kini berada di kisaran Rp9.000-Rp10.000 per liter.

"Sebetulnya subsidi yang kita berikan cukup banyak. Dengan harga grosir Rp8.500 per liter, maka harga konsumen bisa mencapai Rp9.000 per liter," jelasnya.

Eddy Suseno, Irjen Departemen Perdagangan mengatakan proses penyaluran atau distribusi minyak goreng kemasan sederhana tersebut baru akan dimulai setelah program subsidi minyak goreng Rp6.000 per liter yang merupakan program CSR usai dilakukan.

"Kami fokus dulu pada program CSR perusahaan, karena itu merupakan strategi promosi ke masyarakat sehingga harga pun masih dalam pembahasan," katanya.

Minyakita adalah merek minyak goreng kemasan sederhana milik pemerintah yang diluncurkan guna menjaga stabilisasi harga minyak goreng di pasar tradisional.

Saat ini, ada 24 perusahaan minyak goreng yang telah menyatakan kesiapannya untuk menjadi produsen minyak kemasan plastik sederhana ramah lingkungan berbentuk bantal (pillow pack) itu dengan ukuran kemasan 1 liter. Ke depan, pemerintah juga akan menghadirkan pilihan kemasan dalam ukuran 0,25 liter dan 0,5 liter.

Peluncuran Minyakita di Serang, kemarin merupakan program CSR dari PT Musim Mas Group.

www.bisnis.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

19 Februari 2009

Regulasi Soal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Ditolak

. 19 Februari 2009
0 komentar

Para pengusaha mendesak Mahkamah Konstitusi mencabut pasal 74 Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur tentang Coorporate Social Responsibility (CSR). Hal itu dinilai merugikan perekonomian.

Para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indoesia (HIPMI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) berpendapat, CSR sepatutnya bersifat sukarela.

"Namanya saja sudah sosial, ini berbeda dari pajak," kata Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi di sela sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Kamis (19/02) Jakarta. Pemerintah, lanjutnya, harusnya tidak memberi beban tambahan karena pengusaha telah membayar pajak dan royalti sesuai undang - undang.

Ia juga khawatir, jika masuk dalam regulasi, akan menjadi celah bagi pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah yang memaksa pengusaha melaksanakan progam CSR. "Nantinya akan menjadi beban dan high cost kepada konsumen," tambahnya.

Saksi ahli dari Lingkar CSR Indonesia, Jalal mengatakan tidak satupun negara di dunia yang melakukan regulasi pada aktivitas dan dana CSR. "Sifatnya sukarela," ujarnya. Ia melanjutkan, argumentasi yang menyatakan ketidakpatuhan perusahaan melakukan CSR merupakan indikasi ketidakpercayaan kepada perusahaan.

VENNIE MELYANI - TEMPO Interaktif,

Klik disini untuk melanjutkan »»

Faisal Basri: CSR Bukan Substitusi Tugas Pemerintah

.
0 komentar

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengharapkan agar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jangan dijadikan alat untuk pengalihan tanggung jawab pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan kepada perusahaan-perusahaan swasta.

"Ingat, tugas mengentaskan orang miskin tuh tugasnya pemerintah. Silakan swasta melakukan tindakan-tindakan komplemen. Jadi, CSR ini bukan substitusi dari tugas-tugas pemerintah, " ujar Faisal kepada wartawan seusai menjadi ahli pemohon dalam sidang pleno permohonan pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (19/2).

Menurutnya, selama ini pemerintah pusat tidak benar dalam mengelola keuangannya. Ia mempertanyakan ke mana larinya uang-uang yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar. Namun, menurutnya, yang lebih menyebalkan adalah pemerintah seakan-akan mengadu domba perusahaan dengan rakyat setempat.

Sebagai contoh ia mengatakan daerah-daerah tambang yang selama ini terlihat kondisi rakyatnya tak maju-maju dan tetap miskin, pemerintah selalu menyalahkan perusahaan-perusahaan swasta akan hal ini. Padahal, menurutnya, pemerintah telah mendapatkan banyak uang dari hasil keuntungan yang ada.

"Sebanyak 90 persen uang tambang itu ke pemerintah pusat dan 10 persen ke pengusahanya. Jadi negara menggunakan uang itu dengan tidak karu-karuan. Jadi rakyat tetap miskin," ujar Faisal Basri dengan nada kesal.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/02/19/1848213/Faisal.Basri.CSR.Bukan.Substitusi.Tugas.Pemerintah

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tugas pengentasan kemiskinan bukanlah tugas utama perusahaan-perusahaan swasta, tetapi tugasnya pemerintah. "Jadi kalau perusahaan ingin mengentaskan kemiskinan di daerah sekitarnya, silakan tapi itu bukan kewajiban, karena itu lebih bersifat tanggung jawab sosial," ujar Faisal.

Namun, ia mengatakan bahwa makin banyak perusahaan-perusahaan yang telah sadar akan tanggung jawab sosial ini karena, menurutnya, perusahaan-perusahaan yang mempunyai CSR yang bagus justru keuntungannya juga semakin berlipat.

Klik disini untuk melanjutkan »»

17 Februari 2009

Mencari model CSR transformatif

. 17 Februari 2009
0 komentar

Perusahaan bisa jadi agen perubahan

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR) merupakan transformasi tentang peran bisnis untuk lebih mengambil peran dalam mengatasi persoalan dalam masyarakat.

Semenjak terminologi CSR digunakan sekitar 80 tahun lalu, bentuk CSR telah mengambil berbagai macam bentuk. Praktik CSR dibentuk antara lain oleh pandangan para aktor dalam masyarakat tentang hak dan kewajiban pelaku bisnis dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, beberapa bentuk kegiatan yang terkait CSR juga merupakan inisiatif yang progresif dari kelompok bisnis.

Bentuk-bentuk kegiatan CSR: kedermawanan (charity), sumbangan melalui penjualan untuk kegiatan pembangunan tertentu, iklan layanan masyarakat, sampai kewargaan korporasi menunjukkan perkembangan tingkat keterlibatan perusahaan sebagai bagian dari suatu masyarakat untuk ikut menyelesaikan masalah sosial. Perusahaan tidak lagi hanya pihak yang diminta sumbangan material, melainkan ikut mempromosikan nilai dan norma baru, ikut dalam bahkan menegosiasikan tata baru dalam masyarakat.

Di negara industri maju, perusahaan tidak hanya menangani persoalan kesejahteraan dari sudut kebutuhan dasar konvensional seperti pendidikan dan kesehatan. Beberapa perusahaan berupaya membantu persoalan kesenjangan kelompok (baik berbasis gender, ras, atau kelas ekonomi), misalnya dengan memperlebar kesempatan bagi mitra-mitra baru yang biasanya terpinggirkan karena alasan latar belakang sosial ekonomi.

Setiap masyarakat mempunyai persoalannya sendiri untuk dipecahkan. CSR merupakan suatu alat yang dimiliki kalangan bisnis untuk ikut memecahkan persoalan tersebut. Karena itu, adalah penting bagi pelaku bisnis untuk menjadi penuh pertimbangan apakah CSR sungguh dapat menyumbang secara bermakna dan tidak semata mengambil model-model yang sudah ada.

Tanpa mempertimbangkan konteks, model-model yang diambil begitu saja bisa menjadi kontradiktif bagi masyarakatnya. Di Indonesia, sebagai contoh, sumbangan perusahaan kepada pemerintah daerah untuk fasilitas sosial justru memperkuat kecenderungan korupsi yang sudah ada karena hanya menonjolkan aspek "kegiatan sosial"-nya daripada kondisi tata kelola suatu masyarakat.

Indonesia adalah negara miskin dengan persoalan kebutuhan pembangunan fasilitas dasar. Akan tetapi Indonesia bukan hanya menghadapi kekurangan melainkan juga persoalan merubah tatanan pengelolaan yang lebih luas. Kita adalah bangsa dengan praktik korupsi yang sangat luas.

Belum lagi persoalan mutu sumber manusianya, orientasi ke arah kemajuan yang lemah, dan kohesi sosial yang tidak mendorong kemajuan. Pemerintah tidak mampu menangani berbagai persoalan ini. Negara juga diperlemah dengan masuknya berbagi kepentingan melaui sistem politik yang ada sekarang. Organisasi masyarakat menderita inersia organisasi dan sumber daya terbatas.

Karena itu perusahaan, di tengah kesulitan politik ekonomi saat ini, masih merupakan kelompok dengan sumber daya terbesar yang bisa mendorong perubahan. CSR adalah suatu kerangka kerja, kerangka interaksi, yang dapat menjadi kerangka perubahan. Bahkan model-model CSR yang selama ini dipercaya sebagai menuju perubahan sering kali tidak begitu berhasil karena bekerja atas dasar pemahaman sempit tentang kecakapan (yang dibutuhkan kelompok masyarakat), tentang relasi sosial yang ada dan tentang konteks ekonomi politik.

Satu persoalan lagi adalah bahwa CSR masih dipandang sebagai usaha individual perusahaan. Padahal, dalam konteks permasalahan di Indonesia, suatu upaya yang mempunyai banyak dimensi-karena itu dilakukan oleh beberapa perusahaan-harus dikembangkan. Bagi perusahaan sendiri, kerja sama ini juga memungkinkan perbaikan leverage dan posisi negosisasi terhadap pihak lain.

Beberapa peran

Untuk keluar dari batasan-batasan hanya sebagai penyedia dan akontekstual terhadap relasi timpang dan koruptif dari yang sudah ada, CSR untuk Indonesia harus memainkan beberapa peran. Peran pertama adalah memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan manusia Indonesia. Jika pemerintah menyediakan kebutuhan pendidikan minimum, maka CSR perusahaan mendukung penemuan metode-metode pengajaran yang penting.

Misalkan saja, mencontoh Singapura, beberapa dekade lalu mereka mengembangkan metode pengajaran matematika sehingga sekarang menjadi tertinggi di dunia. Untuk Indonesia, perbaikan metode pengajaran bahasa Inggris harus dibongkar habis seperti yang dilakukan Belanda beberapa dekade lalu. Untuk tingkat yang lebih tinggi, berbagai bentuk pendidikan keterampilan harus berorientasi pada teknologi sederhana yang memecahkan masalah nyata rakyat. Perusahaan juga memfasilitasi litbang-litbang menemukan teknologi sederhana untuk menolong petani, nelayan, dan penduduk miskin perkotaan.

CSR perusahaan juga harus berani mulai memasuki wilayah perbaikan tata kelola. Selama ini sudah ada upaya ikut dalam membuat pakta integritas, atau di Yogya bahkan sudah ada ombudsman swasta. Agar lebih berkembang, bentuk-bentuk ini membutuhkan dukungan. Jika untuk saat ini banyak perusahaan ragu untuk masuk dalam wilayah civic activism, mereka bisa membantu peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok yang bergerak dalam pembaruan tata kelola.

Misalnya, pelatihan para wartawan untuk memantau kasus korupsi anggaran, membantu LSM antikorupsi dalam informasi, membantu infrastruktur mereka. Jika hubungan bilateral antarorganisasi ingin dihindarkan, bisa dipikirkan suatu badan koordinasi yang menegakkan prinsip dan norma-normanya.

Namun, semua upaya semacam itu kecil kemungkinan berhasil jika pihak lain memandang CSR adalah tentang kewajiban perusahaan semata. CSR yang baik dan berkembang adalah yang menuntut pihak lain ikut dalam upaya tersebut. Peran pemerintah, seperti di negara lain misalnya, memfasilitasi, memberi legitimasi, menjaga kepastian peraturan, atau penjamin.

Ornop dan organisasi sosial lain harus membuang sikap curiga dan semata kritiknya terhadap bisnis untuk bekerja sama membuat pendekatan-pendekatan baru. Sebagai organisasi mereka juga harus siap belajar dan berubah menjadi lebih baik. Universitas bisa membantu menemukan bentuk-bentuk relasi akuntabilitas baru untuk semua pihak.

Oleh Meuthia Ganie-Rochman
Peneliti senior di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia

Klik disini untuk melanjutkan »»

09 Februari 2009

CSR, Bukan Sekadar Tren

. 09 Februari 2009
0 komentar

Oleh
Siti Nur Aryani

Mohamad Fajri menulis tentang Corporate Social Responsibility (CSR-tanggung jawab terhadap lingkungan) di Sinar Harapan (11/3). Dikemukakan tentang beberapa alasan perlunya CSR diterapkan. Saya ingin bicara lebih kritis mengenai penerapan CSR yang masih cenderung latah dan basa-basi.
CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, ngemplang pajak dan menindas buruh. Pendeknya, perusahaan berdiri secara diametral dengan kehidupan sosial.
Kesan perusahaan, terutama pemilik modal, lebih menampakkan wajar yang a-sosial. Biasanya orang gerundelan menyebutnya pelit, tertutup, mau untung doang, menghalalkan segala cara dan tidak punya hati kepada karyawan. Ini kenyataan bahwa kaum kapitalis memang tegak berdiri di atas derita banyak orang.
Kini situasi semakin berubah. Konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan sebagai keharusan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat.
Kekuatan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku "When Corporations Rule the World" melukiskan bahwa dunia bisnis setengah abad terakhir telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa. Bahkan pengamat globalisasi, Dr Noorena Herzt berpendapat perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih kekuasaan politik dari politisi.

Pemodal dan Politik
Pengambilalihan ini terjadi karena kian ketatnya produk hukum yang menuntut tanggung jawab sosial kaum pemodal. Pemodal harus masuk dunia politik agar tidak terpojok dengan tuntutan politik pemerintah/masyarakat. Menurutnya, dalam satu dasawarsa terakhir CSR perusahaan besar sangat berperan ketimbang institusi publik (negara).
Kita tidak bisa mengelak atas perubahan dunia di mana kapitalisme menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada kapitalisme global inilah tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu mempertimbangkan kepentingan pebisnis.
Pertimbangan bukan berarti tunduk, tapi harus saling menjaga kepentingan. Kapitalisme tidak identik dengan pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Untuk era sekarang, kapitalisme hanya bisa berkembang jika bersinergi dengan dunia sosial.
Masyarakat modern sudah menjauh dari sikap antikapitalisme. Sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat harus melewati riil kapitalisme. Kini orang sadar bahwa yang terpenting bukan ideologi, tapi sikap kompromi untuk menemukan jalan terbaik.
Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harus setara dalam merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama.
Di negara kapitalis penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan.
Peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggung jawab sosialnya kepada rakyat miskin.

Indonesia Latah
Kenyataan itu tidak serta merta dipraktikkan di Indonesia. Berbagai perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Mungkin saja perusahaan itu berhasil memberikan materi yang riil bagi masyarakat. Namun, di ruang publik nama perusahaan sendiri gagal menarik simpati orang. Ujung-ujungnya mau berderma sembari meneguk untung citra malah buntung!
Ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Kita menerima pendapat pakar marketing, Craig Semit (1994) yang merintis pendekatan baru CSR yang ia sebut The Corporat Philanthropy. Ia berpendapat CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan penyelarasan inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek, bahkan untuk menggaet pangsa pasar, atau menghancurkan pesaing. (Yuswohady, Majalah SWA 12/2005).
Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alignment antara manfaat sosial dan bisnis yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting kemampuan menerapkan strategi.
Jangan sampai karena CSR biaya operasional menggerogoti keuangan. Jangan pula karena CSR masyarakat justru antipati. Lain CSR, lain building image.

Penulis adalah Konsultan TI
PT Fokus Usaha Solusi

www.sinarharapan.co.id

Klik disini untuk melanjutkan »»

08 Februari 2009

Pengusaha Tuding UU PT Penyebab Kerugian

. 08 Februari 2009
0 komentar

JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) menuding pemberlakuan Undang-Undang (UU) 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), khususnya Pasal 74 yang mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan telah menyebabkan mereka merugi secara finansial dan konstitusi.

Hal itu mengemuka dalam sidang uji materiil UU PT di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa. Padahal, kata ahli hukum perusahaan/bisnis Prof Dr Hikmahanto Juwana, TJSL atau lebih sering disebut coorporate social responsibility (CSR) bukan suatu kewajiban yang dibebankan oleh negara kepada PT, tapi sebagai komitmen dari PT itu sendiri.

"TSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat," kata Hikmahanto.

Ia mengatakan, pelaksanaan CSR seharusnya tidak hanya pada badan hukum berbentuk PT. Namun semua badan hukum yang melakukan kegiatan di sektor tertentu, dan mendapat pengaturan oleh UU sektor tertentu. "Ini untuk menjamin keadilan," ujarnya. Kenyataannya, seringkali hanya PT saja yang dibebani CSR.

Direktur Program CSR Universitas Trisakti Maria R Nindita Radyanti, mengatakan, CSR adalah konsep di mana perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungan berdasar prinsip sukarela. Tidak itu saja, kegiatan bisnis serta interaksi dengan para pemangku kepentingan juga harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan. "Di negara-negara Eropa hal ini sudah dijalankan," jelasnya.

Menurut Maria, CSR merupakan bagian dari keseluruhan operasi perusahaan, yakni fungsi bisnis utama (core business functions) yang dapat memberikan dampak positif terhadap lingkungan dan para pemangku kepentingan serta masyarakat pada umumnya.

Ahli lainnya, Maria Dian Nurani, memandang standarisasi CSR melalui ISO 26000 merupakan tanggung jawab perusahaan akan dampak kehadirannya di lokasi sekitarnya. Termasuk terhadap masyarakat, lingkungan, dan perilaku yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Bahkan juga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

"Semua itu seharusnya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dan konsisten dengan norma yang berlaku di lingkungan sekitarnya," kata Dian. (Wilmar P)
www.suarakarya-online.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

Menggugat Pasal 74

.
0 komentar

Harian Kompas (29/11) memberitakan bahwa pada Jumat sore tanggal 28 November 2008 Kamar Dagang dan Industri (KADIN) telah secara resmi meminta peninjauan ulang untuk pemberlakuan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang isinya mewajibkan perusahaan berbadan hukum PT untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Alasannya, dalam pemahaman mereka, CSR adalah sebuah konsep yang sukarela, sehingga mewajibkan CSR adalah contradictio in terminis alaias bertentangan secara istilah dan logika. Benarkah demikian?

Tentu saja, apabila sesuatu telah ditetapkan sebagai tanggung jawab pihak tertentu, baik itu melalui norma hukum positif maupun norma sosial lainnya, maka pelaksanaannya bukanlah sesuatu yang sukarela. Menyatakan tanggung jawab sebagai kesukarelaanlah yang sebetulnya contradictio in terminis. Namun demikian, mengapa para pakar CSR kerap menyatakan bahwa sifat CSR adalah voluntari alias sukarela? Literatur mutakhir seperti Crane, Matten dan Spence (2008) maupun Dahlsrud (2008) juga sampai pada kesimpulan yang sama, walaupun dengan metodologi yang berbeda. Jawabannya adalah pada pengertian yang benar atas �sukarela� itu sendiri, dan ini yang kerap diselewengkan oleh perusahaan, yang ogah diatur dengan ketat. Sukarela, dalam CSR berarti adalah memenuhi seluruh ketentuan yang telah diatur oleh regulasi internasional, nasional maupun lokal, kemudian secara sukarela perusahaan juga melakukan apa yang belum diatur oleh regulasi-regulasi itu. Sukarela artinya melampaui apa yang diwajibkan, bukan semau-maunya memilih untuk melaksanakan atau tidak!

Pertanyaannya kemudian, apakah KADIN sepenuhnya salah kalau berpendirian bahwa Pasal 74 itu harus ditinjau ulang? Tidak sepenuhnya. Pasal itu memang kacau balau secara konseptual, dan sudah sepantasnya banyak pihak yang berkepentingan untuk mengajukan revisi. Pertama-tama adalah soal definisi CSR yang jauh sekali dari pengertian arus utama. Tengoklah draft ISO 26000 on Social Responsibility yang kiranya merupakan puncak pencapaian proses multipihak dalam merumuskan CSR, maka kita pasti akan menemukan jurang yang menganga di antara keduanya. Membandingkan keduanya akan membuat kita tersadar bahwa TJSL bukanlah CSR, melainkan hanya sebagian potongan kecil darinya, bahkan, maaf, menggambarkan ketidakpahaman para pembuat pasal tersebut.

Kedua, terkait dengan cakupan apa saja yang termasuk dalam CSR. Pasal 74 memasukkan isu lingkungan dan hubungan dengan masyarakat setempat sebagai dua komponen TJSL. CSR identik dengan triple bottom line semenjak John Elkington menemukan istilah itu dalam �Cannibals with Fork.� Itu karena CSR memang merupakan konsep turunan dari pembangunan berkelanjutan, dan memiliki tujuan yang sama dengannya. TJSL menyunat pilar ekonomi dari CSR. Lebih jauh lagi, pilar sosial dipangkas dengan cara mengabaikan hal-hal lain di luar kepentingan masyarakat setempat. Padahal, dimensi sosial sangatlah luas, bukan sekadar community development atau pengembangan masyarakat. Itulah sebabnya ISO 26000 menyatakan bahwa CSR itu terdiri dari subjek inti tata kelola organisasi, HAM, pekerja, lingkungan, praktik operasi yang adil, konsumen dan pengembangan masyarakat.

Ketiga, secara keterlaluan Pasal 74 juga sudah mengabaikan banyak sekali pemangku kepentingan. Pemerintah, pekerja, para pemasok, konsumen, organisasi masyarakat sipil, media massa, dan masih banyak lagi, tak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Kalau ini disadari oleh mereka, sudah seharsunya secara beramai-ramai mereka�termasuk pemerintah�menuntut inklusi diri mereka sebagai pemangku kepentingan. Mungkin yang paling penting untuk menyadari hal ini adalah pekerja. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa CSR utamanya harus mengurus ranah internal (operational responsibility) dahulu sebelum bergerak ke ranah eksternal (citizenship responsibility). Di dalam ranah internal tersebut, lingkungan dan pekerja adalah yang berulang kali ditekankan sebagai subjek paling penting. Jadi, bagaimana mungkin sebuah regulasi tentang CSR tidak mengakui pekerja sebagai pemangku kepentingan?

Kiranya akan sangat baik kalau seluruh pihak yang merasa bahwa Pasal 74 itu tidak memadai kemudian meminta peninjauan ulang atas pasal tersebut. Bagaimanapun, pembuatan pasal itu sangatlah kurang didasarkan pada proses yang seharusnya. Terlalu banyak pihak yang diabaikan, sehingga tidak mengherankan kalau hasilnyapun centang perenang dan mengekslusikan banyak pihak yang seharusnya masuk. CSR, kata Crane, Matten dan Spence (2008) bercirikan internalisasi eksternalitas; sementara Pasal 74 menunjukkan hal yang sebaliknya, eksternalisasi internalitas.

Oleh karena itu, demi kebaikan seluruh pihak, suara-suara untuk meninjau ulang pasal tersebut, dengan alasan-alasan yang berbeda, sangat penting untuk didorong menjadi lebih keras. Ini sangat penting, agar kita semua nantinya bisa tegak di hadapan dunia, dan dengan lantang bisa menyatakan bahwa kami paham CSR arus utama, dan beginilah cara kami mengaturnya. Tidak seperti sekarang, di mana seluruh dunia terheran-heran dengan bagaimana cara kita tiba-tiba meregulasi CSR tanpa dilandasi pemahaman yang memadai.
www.csrindonesia.com

Klik disini untuk melanjutkan »»

Corporate social responsibility

.
0 komentar

Corporate social responsibility (CSR, also called corporate responsibility, corporate citizenship, responsible business and corporate social opportunity[1]) is a concept whereby organizations consider the interests of society by taking responsibility for the impact of their activities on customers, suppliers, employees, shareholders, communities and other stakeholders, as well as the environment. This obligation is seen to extend beyond the statutory obligation to comply with legislation and sees organizations voluntarily taking further steps to improve the quality of life for employees and their families as well as for the local community and society at large.

The practice of CSR is subject to much debate and criticism. Proponents argue that there is a strong business case for CSR, in that corporations benefit in multiple ways by operating with a perspective broader and longer than their own immediate, short-term profits. Critics argue that CSR distracts from the fundamental economic role of businesses; others argue that it is nothing more than superficial window-dressing; still others argue that it is an attempt to preempt the role of governments as a watchdog over powerful multinational corporations.


http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_social_responsibility

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com