Terima kasih atas kunjungan Anda, kami menyajikan berbagai informasi terkini tentang CSR...

30 Juni 2009

Antara Sila ke Lima dan Corporate Social Responsibility

. 30 Juni 2009
0 komentar

Jenal Alamsyah - suaraPembaca
http://suarapembaca.detik.com/read/2009/06/30/200834/1156778/471/antara-sila-ke-lima-dan-corporate-social-responsibility

Jakarta - Corporate Social Responsibility (CSR) akhir-akhir ini telah menjadi perbincangan menarik. Terutama semenjak dimasukannya CSR ke dalam Undang-undang Perseroan Terbatas (PT). 

Berbagai opini baik itu pro maupun kontra telah menghiasi berbagai media. Namun demikian saya ingin mengajak pembaca untuk melihat CSR dari sudut yang lain. Terlepas dari undang-undang dan kubu-kubu pro dan kontra.

CSR adalah salah satu bentuk kegiatan perusahaan yang dewasa ini telah masuk dalam strategi perusahaan. Hingga pelaksanaannya memiliki motivasi yang berbeda-beda.

Ada yang hanya sekedar memenuhi kewajiban, tebar pesona, tebar karya, dan lain-lain. Namun demikian apa pun tujuan di balik semua itu ada tujuan yang lebih mulia dari sekedar tujuan sebuah perusahaan dalam mencapai laba, yaitu: "kerendahan hati seorang pemimpin untuk membantu sesamanya".

Segala sesuatu yang berawal dari "Hati" tidak perlu adanya undang-undang atau pun peraturan yang mengekangnya. Karena, "Buah Hati" yang sesungguhnya adalah sebuah kebaikan.

Demikian pula dengan falsafah negara yaitu Pancasila yang disusun dengan "Hati" telah membentuk Lima Sila yang saling mendukung untuk menciptakan kemakmuran di Negeri ini. Apa hubungannya sila kelima dengan kegiatan CSR?

Mari kita lihat terlebih dahulu sila kelima dari Pancasila: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" yang salah satu butirnya adalah: "suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri". 

Sedangkan salah satu definisi CSR Menurut (The Confederation of British Industry (CBI) 2001) "Corporate Social Responsibility reguires companies to acknowledge that they should be publicly accountable not only for their financial performance but also for their social and environmental record. More widely, CSR encompasses the extent to which companies should promote human rights, democracy, community improvement, and sustainable development objectives throughout the world."

Berarti perusahaan-perusahaan perlu meyakinkan publik bahwa bisnis yang dijalankan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak saja secara finansial tetapi juga terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.

Lebih jauh lagi tanggung jawab sosial mendorong perusahaan untuk turut serta melaksanakan agenda hak asasi manusia, demokratisasi, pengembangan masyarakat, dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global.

Prinsip CSR adalah memberikan bantuan sosial dengan tujuan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat berdiri sendiri. Sehingga, jelas bahwa CSR sejalan dengan sila kelima dari Pancasila.

Oleh karena itu marilah kita kembalikan Pancasila dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara sesuai dengan kemampuan dan posisi kita masing-masing. Bila ada Perusahaan yang tidak ber-CSR berarti Perusahaan tersebut bukan hanya tidak tunduk pada undang-undang akan tetapi tidak mengindahkan sila kelima dari Pancasila.

Dengan berpedoman pada Pancasila saya yakin negeri ini akan makmur dan Keadilan akan merata dan menyentuh seluruh lapisan Masyarakat Indonesia yang jelas-jelas merupakan pemilik dari Republik ini.

Jenal Alamsyah
Jl Probolinggo 18 Jakarta
jeans_1468@yahoo.com
08121061968

Klik disini untuk melanjutkan »»

CSR dan Regulasi

.
0 komentar

Sebuah fenomena baru tentang pendekatan dunia bisnis di lingkungan dunia usaha dalam dasa warsa terakhir ini adalah diperkenalkannya konsep tanggung jawab sosial dunia usaha atau "Corporate social Responsibility" sebagai bagian dari etika bisnis yang saat ini sedang hangat-hangatnya didiskusikan, diperbincangkan, diperdebatkan dan telah diundangkan yang tertulsi dalam UU NO 40 Pasal 74 tentang Perseroan Terbatas.

Kehadiran konsep ini tidak terlepas dari terjadinya pergeseran pendekatan ekonomi global akibat dari menguatnya ideologi liberal di bidang ekonomi dengan meletakkan bingkai mekanisme pasar sebagai mozaik. Hal demikian mendorong pentingnya pengembangan sistem jaringan (networking) dengan meletakkan stakeholder dan shareholder sebagai bagian dari dunia bisnis. Oleh sebab itu sangat lazim, jika beberapa perusahaan besar telah melirik konsep tanggung jawab sosial menjadi tatanan bisnis sepadan dengan membangun budaya bisnis yang berorientasi pada maksimalisasi keuntungan. Pergeseran ini membawa pengaruh sighnifikan bagi orientasi memaksimalisasi profitibilitas perusahaan menjadi keuntungan timbal balik (mutualitas). Tidak heran, jika konsep itu kemudian diadopsi oleh perusahaan besar baik domestik, nasional maupun multi nasional.

Dari sekian banyak perusahaan di Indonesia, sekurang-kurangnya 170 dari 200 perusahaan yang telah bergabung dalam Corporate Forum for Community Development (CFCD) telah menerapkan tanggung jawab sosial ini ke dalam satuan sistem strategis perusahaannya dengan menempatkan fungsinya dalam divisi khusus/departemen spesifik yang kedudukannya sepadan dengan bidang lainnya. Hal ini dimaknai, bahwa tanggung jawab sosial perusahaan telah menjadi bagian yang sangat penting dan strategis.

Dalam Business for Social Responsibility, 2002, CSR dipandang mampu memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. CSR dapat membantu perusahaan memperbaiki financial performance dan akses pada modal, meningkatkan brand image dan penjualan, memelihara kualitas kekuatan kerja, memperbaiki pembuatan keputusan pada isu-isu kritis, menangani resiko secara lebih efisien dan mengurangi cost jangka panjang.

Kontribusi tepenting perusahaan adalah menemukan cara melaksanakan bisnisnya sementara pada saat yang sama juga ditujukan pada elemen-elemen pokok pengurangan kemiskinan, kesetaraan, akses, partisipasi, perdamaian dan keamanan serta perlindungan lingkungan. Perusahaan yang mengembangkan model bisnis baru tersebut akan menjadi the business leaders of the 21st Century (Mark M. Brown, UNDP in business and Poverty: Bridging the gap, 2002)

Pada skala internasional, tanggung jawab sosial dunia usaha telah distandarisasikan secara memadai. Sebut saja Trinidad and Tobacco Bureau Standard (TTBS) yang telah menegaskan, bahwa Corporate Social Responsibility bertautan dengan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002). Hal senada juga dikemukakan dalam Business Counsil for Sustainable Development (WBCSD) in fox, et al (2002) yang lebih memberatkan pada komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan serta komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan. Beberapa konsep dasar tersebut menandaskan, bahwa tanggung jawab sosial di lingkungan dunia usaha tidak lagi menjadi basis moral dalam melanggengkan perusahaannya, tetapi lebih dari komitmen dan etika bisnis, karena pentingnya keserasian hubungan antara dunia usaha stakeholder dan shareholder, terutama untuk menjawab tiga pilar persoalan utama, yaitu apakah bisnis perusahaan berdampak positif bagi masyarakat, sehingga kelanggengan bisnis perusahaan dapat dijamin, apakah maksimalisasi keuntungan perusahaan diimbangi pula dengan memberikan kontribusi yang sama pentingnya kepada komunitas lokal dan masyarakat secara keseluruhan dan apakah telah terjadi keseimbangan antara keterkaitan antara internal environment dengan external environment?

Lingkungan sosial korporat pada hakekatnya terdiri dari tiga aktor yaitu pemerintah, dan warga negara lainnya serta interaksi mereka untuk mengelola lingkungan hidupnya (Shunji, Matsuoka, 2003). Untuk membagi peran-peran tripartit itu, maka tanggung jawab sosial dunia usaha memandang pentingnya beberapa prinsip yang dikembangkan oleh Corporat Social Responsibility Management System Standard (CSR MSS) yang tumbuh dari perspektif Customer Protection dalam Global Market Working Group Report yaitu mengidentifikasi dan menyeleksi substansi dari norma dan prinsip yang relevan, cara-cara untuk mendekatkan jarak antara stakeholder dengan aktivitas corporat, proses dan sistem yang menjamin tingkat efektivitas operasional dari komitmen CSR, teknik yang digunakan untuk verifikasi kemajuan ke depan dari komitmen CSR dan teknik yang digunakan bagi stakeholder, laporan publik dan komunikasi.

Mark Goyder yaitu salah seorang tokoh terkemuka dalam mengembangkan Social Envornment Management System (SEMS), mengungkapkan bahwa CSR di lingkungan perusahaan dapat berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari CSR. Bentuk yang pertama, lebih memfokuskan pada tindakan corporat di lingkungan sekitar dengan menyediakan berbagai pelayanan sosial dasar dan atau memenuhi kebutuhan komunitas di sekitarnya. Bentuk kedua, lebih memfokuskan perhatiannya pada nilai dasar yang digunakan oleh corporate untuk mewujudkan tindakan yang dilakukan terhadap komunitas lokal (sekitar). Dengan demikian, perwujudan dari CSR adalah dalam bentuk abstrak yaitu berupa nilai-nilai corporat yang digunakan sebagai acuan untuk memahami lingkungan sosial, dan kongkrit dalam wujud tindakan nyata yang ditujukan kepada lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat.

Mengapa Community Development Menjadi Penting ?

Dorongan kuat yang menyebabkan perlunya pemberdayaan masyarakat adalah kegagalan negara-negara yang disebut sebagai " negara yang bertujuan mengupayakan kemakmuran rakyat" (Welfare State). Merujuk pada Mukadimah UUD 45 dapat ditegaskan bahwa Republik Indonesia adalah salah satu dari negara yang harus disebut sebagai welfare state tersebut. Tidak hanya di Indonesia, sejak lama sebenarnya telah terbukti bahwa negara-negara welfare state telah gagal mengupayakan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial (social Justice) bagi rakyatnya. Di Indonesia puncak dari kegagalan tersebut nampak menjadi sangat dirasakan bersamaan dengan dimulainya krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, kesenjangan perolehan pendapatan, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pertumbuhan jumlah pengangguran angkatan kerja produktif adalah beberapa diantara indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan kegagalan tersebut.

Sedikitnya terdapat dua faktor yang paling rasional yang dapat disebutkan sebagai penyebab kegagalan hampir di semua welfare state tersebut, yaitu :

1. Terlalu banyak urusan yang berkaitan dengan pelayanan insani (human services) yang tidak mungkin efektif dan efisien jika pemenuhannya di upayakan secara sentralistik dengan menggunakan mekanisme negara. Jenjang dan jalur birokrasi yang begitu panjang di dalam pranata negara tidak mungkin mampu bekerja secara efektif dan efisien.

2. Pola pembangunan industri yang kapitalistik yang diadopsi oleh hampir semua welfare state telah menciptakan masyarakat industrial yang kehilangan identitas komunitas karena hancurnya struktur komunitas terutama komunitas tradisional.

Kedua hal tersebut diatas terjadi karena industri yang kapitalistik memerlukan dan sekaligus mengakibatkan ;

* Mobilitas angkatan kerja produktif yang sangat tinggi
* Mobilitas individu yang sangat tinggi
* Tingkat konsumsi per individu dan per keluarga yang semakin membumbung

* Dominasi idiologi individualistik yang semakin kental dan kuat.

Mobilitas angkatan kerja produktif dan individu terjadi sekaligus dalam dua bentuknya, yaitu; secara horizontal maupun vertical.

Mobiltas secara hoizontal diujudkan terutama dalam bentuk urbanisasi, dan mobiltas vertical diwujudkan dalam bentuk peningkatan status sosial dan ekonomi. Kedua tipe mobilitas tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan begitu banyak individu yang kemudian terpisah dan berpisah dari keluarga, meninggalkan adat istiadat dan komunitas asalnya. Mereka berubah menjadi individualistik semakin kurang kepedulian terhadap orang lain dan bahkan semakin tidak religius. Proses ini telah mengakibatkan pergeseran pola masyarakat dari masyarakat gemeinschaft (Ikatan sosial yang kuat/tidak terbatas) menjadi masyarakat gesellshaft (Ikatan sosial yang longgar/terbatas).

Secara ringkas kesimpulan penyebab kegagalan pemenuhan kebutuhan pelayanan insani lebih bertumpu pada kekuatan struktur negara dari pada struktur komunitas yang sesuai.

Contoh lebih konkrit dalam pranata-pranata/ institusi tehnis pemerintah dalam mensejahterakan rakyat ;

Benarkah Departemen/Dinas Pertambangan sudah ' profesional' mengelola sumber daya alam secara lebih adil terhadap masyarakat lokal lingkar tambang.. ? masihkah kita tidak malu menjargonkan kekayaan alam diurus oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan/kesejahteraan rakyat !!!

Benarkah Departemen/Dinas Pertanian sudah ' profesional' mengelola sumber daya pertanian secara lebih adil terhadap masyarakat petani …. ? masihkah kita tidak malu dengan jargon pupuk murah-harga gabah naik !!! Kebon Kelapa sawit luas - harga minyak goreng tidak terjangkau masyarakat miskin !

Benarkah Departemen/Dinas Sosial sudah ' profesional' mengurus yatim piatu, kaum jompo, tuna grahita, dan fakir miskin ….. ? bukankah itu sudah menjadi tanggungan negara sebagaimana diatur dalam UUD 45 !!!

Benarkah Departemen/Dinas Kehutanan sudah ' profesional' mengelola sumber daya hutan secara lebih adil terhadap masyarakat lingkar hutan.. ? bukankah bencana alam banjir, kekekeringan dan kerusakan lainnya sudah menjadi kebiasaan kita setiap tahun ? masih adakah seteguk air bersih yang dapat diminum rakyat !!!

Uraian dan jawaban-jawaban tidak memuaskan di atas membuktikan begitu banyak kebutuhan insani yang tidak dapat dipenuhi dengan model pelayanan sentralistik yang bertumpu pada negara. Karena itu suatu pendekatan lain dalam pemenuhan kebutuhan layan insani (human services) sangat diperlukan. Pendekatan itu adalah pelayanan yang bertumpu pada komunitas (community based service/development).

Dalam rangka membangun struktur komunitas yang sesuai itulah upaya pengembangan masyarakat (pemberdayaan masyarakat) sangat penting diperlukan.

Berdasarkan hasil pengamatan empiris dilapangan selain dari uraian diatas yang mungkin juga terjadi, masyarakat semakin kritis terhadap tuntutan-tuntutan baru akibat adanya bisnis ekspektasi dan industri termasuk usaha bisnis dibidang sumberdaya kehutanan dan perkebunan, antara lain ;

Kesempatan memperoleh keadilan lingkungan (ecological justice)
* Kesempatan memperoleh keadilan sosial ( social justice)
* Kesempatan memperoleh keadilan ekonomi (economic justice)
* Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
* Pemerataan pembagian pendapatan;
* Pemerataan kesempatan kerja;
* Pemerataan kesempatan peluang usaha baru;

* Pemerataan kesempatan berperan serta dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan ;

Pada masa pemerintahan orde baru, pertumbuhan ekonomi merupakan segala-galanya sehingga harus diperjuangkan at all cost. Pada masa itu industrialisasi ujung tombak (leading sector) dari pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu berbagai industri yang berkembang harus diamankan dengan dengan berbagai cara yang dibungkus dengan Trilogi pembangunan (Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan) dan konsep ini cukup ampuh dan rakyatpun mengamini. Akibatnya, berbagai perusahaan berkembang secara aman tanpa ada mendapat banyak persoalan dan gangguan berarti karena dilindungi secara ketat oleh pemerintah (aparat keamanan). Pada masa itu pemerintah berada dalam posisi yang sangat kuat (bahkan eksesif), sehingga perlindungan itu berlangsung secara efektif. Persoalan konflik sosial dan lingkungan secara umum mampu diselesaikan perusahaan dengan mudah. Melalui pendekatan security, berbagai bentuk konflik dapat dipadamkan dan bahkan diredam potensinya. Demikian pula program pemberdayaan masyarakat nyaris tidak pernah dipertanyakan dan digugat efektifitasnya.

Lalu bagaimana kita menyikapi situasi dan kondisi sekarang ini !

http://public.kompasiana.com/2009/06/30/csr-dan-regulasi/#more-27010

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com