Terima kasih atas kunjungan Anda, kami menyajikan berbagai informasi terkini tentang CSR...

08 Februari 2009

Menggugat Pasal 74

. 08 Februari 2009

Harian Kompas (29/11) memberitakan bahwa pada Jumat sore tanggal 28 November 2008 Kamar Dagang dan Industri (KADIN) telah secara resmi meminta peninjauan ulang untuk pemberlakuan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang isinya mewajibkan perusahaan berbadan hukum PT untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Alasannya, dalam pemahaman mereka, CSR adalah sebuah konsep yang sukarela, sehingga mewajibkan CSR adalah contradictio in terminis alaias bertentangan secara istilah dan logika. Benarkah demikian?

Tentu saja, apabila sesuatu telah ditetapkan sebagai tanggung jawab pihak tertentu, baik itu melalui norma hukum positif maupun norma sosial lainnya, maka pelaksanaannya bukanlah sesuatu yang sukarela. Menyatakan tanggung jawab sebagai kesukarelaanlah yang sebetulnya contradictio in terminis. Namun demikian, mengapa para pakar CSR kerap menyatakan bahwa sifat CSR adalah voluntari alias sukarela? Literatur mutakhir seperti Crane, Matten dan Spence (2008) maupun Dahlsrud (2008) juga sampai pada kesimpulan yang sama, walaupun dengan metodologi yang berbeda. Jawabannya adalah pada pengertian yang benar atas �sukarela� itu sendiri, dan ini yang kerap diselewengkan oleh perusahaan, yang ogah diatur dengan ketat. Sukarela, dalam CSR berarti adalah memenuhi seluruh ketentuan yang telah diatur oleh regulasi internasional, nasional maupun lokal, kemudian secara sukarela perusahaan juga melakukan apa yang belum diatur oleh regulasi-regulasi itu. Sukarela artinya melampaui apa yang diwajibkan, bukan semau-maunya memilih untuk melaksanakan atau tidak!

Pertanyaannya kemudian, apakah KADIN sepenuhnya salah kalau berpendirian bahwa Pasal 74 itu harus ditinjau ulang? Tidak sepenuhnya. Pasal itu memang kacau balau secara konseptual, dan sudah sepantasnya banyak pihak yang berkepentingan untuk mengajukan revisi. Pertama-tama adalah soal definisi CSR yang jauh sekali dari pengertian arus utama. Tengoklah draft ISO 26000 on Social Responsibility yang kiranya merupakan puncak pencapaian proses multipihak dalam merumuskan CSR, maka kita pasti akan menemukan jurang yang menganga di antara keduanya. Membandingkan keduanya akan membuat kita tersadar bahwa TJSL bukanlah CSR, melainkan hanya sebagian potongan kecil darinya, bahkan, maaf, menggambarkan ketidakpahaman para pembuat pasal tersebut.

Kedua, terkait dengan cakupan apa saja yang termasuk dalam CSR. Pasal 74 memasukkan isu lingkungan dan hubungan dengan masyarakat setempat sebagai dua komponen TJSL. CSR identik dengan triple bottom line semenjak John Elkington menemukan istilah itu dalam �Cannibals with Fork.� Itu karena CSR memang merupakan konsep turunan dari pembangunan berkelanjutan, dan memiliki tujuan yang sama dengannya. TJSL menyunat pilar ekonomi dari CSR. Lebih jauh lagi, pilar sosial dipangkas dengan cara mengabaikan hal-hal lain di luar kepentingan masyarakat setempat. Padahal, dimensi sosial sangatlah luas, bukan sekadar community development atau pengembangan masyarakat. Itulah sebabnya ISO 26000 menyatakan bahwa CSR itu terdiri dari subjek inti tata kelola organisasi, HAM, pekerja, lingkungan, praktik operasi yang adil, konsumen dan pengembangan masyarakat.

Ketiga, secara keterlaluan Pasal 74 juga sudah mengabaikan banyak sekali pemangku kepentingan. Pemerintah, pekerja, para pemasok, konsumen, organisasi masyarakat sipil, media massa, dan masih banyak lagi, tak dianggap sebagai pemangku kepentingan. Kalau ini disadari oleh mereka, sudah seharsunya secara beramai-ramai mereka�termasuk pemerintah�menuntut inklusi diri mereka sebagai pemangku kepentingan. Mungkin yang paling penting untuk menyadari hal ini adalah pekerja. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa CSR utamanya harus mengurus ranah internal (operational responsibility) dahulu sebelum bergerak ke ranah eksternal (citizenship responsibility). Di dalam ranah internal tersebut, lingkungan dan pekerja adalah yang berulang kali ditekankan sebagai subjek paling penting. Jadi, bagaimana mungkin sebuah regulasi tentang CSR tidak mengakui pekerja sebagai pemangku kepentingan?

Kiranya akan sangat baik kalau seluruh pihak yang merasa bahwa Pasal 74 itu tidak memadai kemudian meminta peninjauan ulang atas pasal tersebut. Bagaimanapun, pembuatan pasal itu sangatlah kurang didasarkan pada proses yang seharusnya. Terlalu banyak pihak yang diabaikan, sehingga tidak mengherankan kalau hasilnyapun centang perenang dan mengekslusikan banyak pihak yang seharusnya masuk. CSR, kata Crane, Matten dan Spence (2008) bercirikan internalisasi eksternalitas; sementara Pasal 74 menunjukkan hal yang sebaliknya, eksternalisasi internalitas.

Oleh karena itu, demi kebaikan seluruh pihak, suara-suara untuk meninjau ulang pasal tersebut, dengan alasan-alasan yang berbeda, sangat penting untuk didorong menjadi lebih keras. Ini sangat penting, agar kita semua nantinya bisa tegak di hadapan dunia, dan dengan lantang bisa menyatakan bahwa kami paham CSR arus utama, dan beginilah cara kami mengaturnya. Tidak seperti sekarang, di mana seluruh dunia terheran-heran dengan bagaimana cara kita tiba-tiba meregulasi CSR tanpa dilandasi pemahaman yang memadai.
www.csrindonesia.com

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com